Judul buku: Emas Sebesar Kuda
Pengarang: Ode Barta Ananda
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2007
Ukuran: 12 x 20 cm, xi + 172 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 15 Februari 2008
Jejak OBA di Pentas Sastra
HARI ini, 5 Maret 2008, genap 3 tahun berpulangnya Ode Barta Ananda. Pria yang akrab dipanggil Aciak OBA ini menghembuskan napas terakhirnya di RS Dr M Djamil Padang 5 Maret 2005 pada pukul 05.45 WIB karena pendarahan di otak yang dideritanya.
Seperti kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka OBA pergi meninggalkan karya. Sebagai seorang seniman, sastrawan dan wartawan, banyak karya almarhum berupa cerpen, puisi dan esai bertebaran di berbagai media massa nasional dan lokal, khususnya Padang Ekspres, tempat di mana dia menjalani karir kewartawanannya hingga di akhir hayatnya. Begitu banyaknya karya Aciak OBA yang tercecer, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Raudal Tanjung Banua dan Helen Yahya (istri OBA yang juga seorang cerpenis) berinisiatif mengumpulkannya menjadi satu buku kumpulan cerpen (Kumcer) yang kemudian diterbitkan atas kerjasama Akar Indonesia dan Padang Ekspres.
Buku yang diberi judul “Emas Sebesar Kuda” ini, dicetak pertama kali pada Oktober 2007, memuat 15 cerpen karya OBA dari masa ke masa. Masih ada memang yang tercecer, sebut seorang rekannya. Tapi mungkin kita tentu tak tahu menahu tentang ini. Namun yang pasti, Kumcer ini sudah bisa mewakili jejak kepengarangan OBA di pentas sastra.
Sebagai cerpenis, karya-karya OBA identik dengan muatan lokal yang mengkritisi fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Dia dinilai banyak kalangan, mampu menelurkan karya parodi yang tajam, karikatural, unik dan nakal terhadap tema yang disorotnya. Pria kelahiran 8 April 1967 ini dengan cantik mengolok-olok kebodohan, kerakusan, pengkhianatan, kemiskinan dan tindak-tanduk kemanusiaan lainnya yang menjadi duri dalam kemapanan.
Tak sekadar itu, OBA pun tidak pernah ragu untuk memilih dan membangun setting ceritanya dengan penggunaan bahasa Melayu Minang keseharian yang kasar sekalipun. Seperti aden, wa’ang dan bahkan umpatan serupa kanciang, kalera dan sebagainya. Walau atas pilihan berbahasanya itu dia dicap jorok dan kasar. Tapi itulah OBA, yang dianggap jujur dalam berkarya dan tak mau menghaluskan bahasa hanya demi mendatangkan estetika.
Untuk melahirkan sebuah karya, OBA bukanlah pengarang yang serba instan, sekali tulis langsung jadi. Dia butuh perenungan dan pemahaman dalam waktu yang kadang teramat panjang. Semua itu dilakukannya demi melahirkan karya yang tak lekang oleh waktu dan selalu bernuansa kekinian.
Seperti cerpen “Burung Beo Bupati” (hal.159), butuh waktu 5 tahun bagi OBA untuk merampungkannya. Dia memulainya pada Oktober 1999 di Muaro Sijuanjang dan menuntaskanya pada Februari 2004. Ada unsur kekinian yang menyusup dalam cerpen yang mulanya terbaca “mengolok-olok” hilangnya rombongan bupati Solok (yang kini jadi gubernur Sumbar) pada 1999 lalu. Namun di tangan OBA, cerita ini tersulap menjadi perilaku kepala daerah atau calon kepala daerah yang rela membayar mahal untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Bukankah realitas serupa itu yang kita temukan kini?
Bahkan ada cerpen OBA yang butuh waktu 10 tahun lamanya untuk disulap menjadi karya yang layak baca. “Sipongang Petir di Koto Panjang” (hal.135) dibuatnya pada 1993 dan dianggapnya rampung pada 2003. Dan kebanyakan cerpennya, dieksekusi (diselesaikan-red) di tempat yang berbeda-beda.
Tapi bukan tidak ada karya OBA yang sekali jadi. Meski langsung rampung saat itu juga, hasilnya tetap memukau. Seperti cerpen “Saluang Saja yang Menyampaikan” (hal.93), diselesaikannya pada 29 Desember 2004 di Padang. Atau “Empat Setengah Karung Goni Penuh Ulat” (hal.75) pada Oktober 2004, dan “Emas Sebesar Kuda” (hal.85) pada Maret 2004.
Dari 15 cerpen yang dimuat ini, sayangnya tidak ada jejak rekam di mana gerangan cerpen-cerpen itu pertama kali pernah dimuat. Hanya “Emas Sebesar Kuda” yang saya tahu pernah dimuat di harian Kompas terbitan Minggu dan pernah saya diskusikan dengannya begitu usai membacanya dulu. Dan soal karyanya yang saya anggap bagus ini, ketika itu OBA hanya menjawab dengan senyum dikulum. Penuh makna. Sepenuh makna yang tersimpan di dalam roh semua cerpennya. (max)