Arsip

Emas Sebesar Kuda

EmassebesarkudaJudul buku: Emas Sebesar Kuda
Pengarang: Ode Barta Ananda
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2007
Ukuran: 12 x 20 cm, xi + 172 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 15 Februari 2008

 

 Jejak OBA di Pentas Sastra

HARI ini, 5 Maret 2008, genap 3 tahun berpulangnya Ode Barta Ananda. Pria yang akrab dipanggil Aciak OBA ini menghembuskan napas terakhirnya di RS Dr M Djamil Padang 5 Maret 2005 pada pukul 05.45 WIB karena pendarahan di otak yang dideritanya.

Seperti kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka OBA pergi meninggalkan karya. Sebagai seorang seniman, sastrawan dan wartawan, banyak karya almarhum berupa cerpen, puisi dan esai bertebaran di berbagai media massa nasional dan lokal, khususnya Padang Ekspres, tempat di mana dia menjalani karir kewartawanannya hingga di akhir hayatnya. Begitu banyaknya karya Aciak OBA yang tercecer, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Raudal Tanjung Banua dan Helen Yahya (istri OBA yang juga seorang cerpenis) berinisiatif mengumpulkannya menjadi satu buku kumpulan cerpen (Kumcer) yang kemudian diterbitkan atas kerjasama Akar Indonesia dan Padang Ekspres.

Buku yang diberi judul “Emas Sebesar Kuda” ini, dicetak pertama kali pada Oktober 2007,  memuat 15 cerpen karya OBA dari masa ke masa. Masih ada memang yang tercecer, sebut seorang rekannya. Tapi mungkin kita tentu tak tahu menahu tentang ini. Namun yang pasti, Kumcer ini sudah bisa mewakili jejak kepengarangan OBA di pentas sastra.

Sebagai cerpenis, karya-karya OBA identik dengan muatan lokal yang mengkritisi fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Dia dinilai banyak kalangan, mampu menelurkan karya parodi yang tajam, karikatural, unik dan nakal terhadap tema yang disorotnya. Pria kelahiran 8 April 1967 ini dengan cantik mengolok-olok kebodohan, kerakusan, pengkhianatan, kemiskinan dan tindak-tanduk kemanusiaan lainnya yang menjadi duri dalam kemapanan.

Tak sekadar itu, OBA pun tidak pernah ragu untuk memilih dan membangun setting ceritanya dengan penggunaan bahasa Melayu Minang keseharian yang kasar sekalipun. Seperti aden, wa’ang dan bahkan umpatan serupa kanciang, kalera dan sebagainya. Walau atas pilihan berbahasanya itu dia dicap jorok dan kasar. Tapi itulah OBA, yang dianggap jujur dalam berkarya dan tak mau menghaluskan bahasa hanya demi mendatangkan estetika.

Untuk melahirkan sebuah karya, OBA bukanlah pengarang yang serba instan, sekali tulis langsung jadi. Dia butuh perenungan dan pemahaman dalam waktu yang kadang teramat panjang. Semua itu dilakukannya demi melahirkan karya yang tak lekang oleh waktu dan selalu bernuansa kekinian.

Seperti cerpen “Burung Beo Bupati” (hal.159), butuh waktu 5 tahun bagi OBA untuk merampungkannya. Dia memulainya pada Oktober 1999 di Muaro Sijuanjang dan menuntaskanya pada Februari 2004. Ada unsur kekinian yang menyusup dalam cerpen yang mulanya terbaca “mengolok-olok” hilangnya rombongan bupati Solok (yang kini jadi gubernur Sumbar) pada 1999 lalu. Namun di tangan OBA, cerita ini tersulap menjadi perilaku kepala daerah atau calon kepala daerah yang rela membayar mahal untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Bukankah realitas serupa itu yang kita temukan kini?

Bahkan ada cerpen OBA yang butuh waktu 10 tahun lamanya untuk disulap menjadi karya yang layak baca. “Sipongang Petir di Koto Panjang” (hal.135) dibuatnya pada 1993 dan dianggapnya rampung pada 2003. Dan kebanyakan cerpennya, dieksekusi (diselesaikan-red) di tempat yang berbeda-beda.

Tapi bukan tidak ada karya OBA yang sekali jadi. Meski langsung rampung saat itu juga, hasilnya tetap memukau. Seperti cerpen “Saluang Saja yang Menyampaikan” (hal.93), diselesaikannya pada 29 Desember 2004 di Padang. Atau “Empat Setengah Karung Goni Penuh Ulat” (hal.75) pada Oktober 2004, dan “Emas Sebesar Kuda” (hal.85) pada Maret 2004.

Dari 15 cerpen yang dimuat ini, sayangnya tidak ada jejak rekam di mana gerangan cerpen-cerpen itu pertama kali pernah dimuat. Hanya “Emas Sebesar Kuda” yang saya tahu pernah dimuat di harian Kompas terbitan Minggu dan pernah saya diskusikan dengannya begitu usai membacanya dulu. Dan soal karyanya yang saya anggap bagus ini, ketika itu OBA hanya menjawab dengan senyum dikulum. Penuh makna. Sepenuh makna yang tersimpan di dalam roh semua cerpennya. (max)

Ripin; Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006

RipinJudul: Ripin; Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006
Penyunting: Ninuk Mardiana Pambudy
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2007
Ukuran: 14 x 21 cm, xxviii + 180 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 11 Juli 2007

 

 Ketika Kompas Mengubah Tradisi

MENGUBAH tradisi. Itulah yang dilakukan redaksi Kompas dalam menerbitkan buku kumpulan Cerpen yang telah menjadi “trade mark” mereka. Bila tradisi tahun-tahun sebelumnya, diterbitkan Cerpen pilihan Kompas, maka tahun ini tradisi itu didobrak menjadi Cerpen Kompas pilihan.

Cerpen pilihan Kompas dan Cerpen Kompas pilihan, jelas “makhluk kata” yang berbeda. Selain berbeda susunan peletakan kata, makna yang dikandung tentu juga berbeda. Bila biasanya Cerpen-cerpen yang dimuat di buku kumpulan Cerpen yang secara rutin diterbitkan Kompas adalah pilihan orang-orang redaksi mereka sendiri, maka untuk tahun ini tugas memilih itu diserahkan pada pihak luar jajaran redaksi. Tahun ini mereka mempercayakan kepada Prof Dr Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat Universitas Parahyangan dan Institut Teknologi Bandung, serta Nirwan Dewanto, pengasuh jurnal budaya Kalam yang juga pengasuh rubrik sastra di Koran Tempo.

Di tangan mereka dari pergulatan selera keduanya “dieksekusi” 102 Cerpen yang dimuat di Harian Kompas terbitan Minggu sepanjang tahun 2005-2006. Hasilnya, terpilihlah 16 Cerpen yang menurut mereka terbaik dari yang baik. Subjektifkah atau objektifkah pemilihan itu? Jelas mereka akan memberikan jawaban, bahwa ini murni penilaian yang mengedepankan upaya untuk menggugurkan nafsu literer tak perlu dari mereka sendiri, sebagaimana pembelaan Nirwan Dewanto dalam prolognya.

Terlepas dari bagaimana proses pemilihan ala mereka, yang jelas penulis Cerpen yang beruntung tahun ini hanya 12 Cerpenis dari 16 Cerpen yang terpilih. Mengapa begitu? Karena ada beberapa Cerpenis yang Cerpennya terpilih 2 karya sekaligus. Mereka adalah Gus tf Sakai, Puthut EA, Triyanto Triwikromo dan Agus Noor. Selebihnya hanya satu karya yaitu Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, Dewi Ria utari, Adek Alwi, Danarto, Eka Kurniawan, Kurnia Effendi dan Ugoran Prasad. Dan dari sebanyak itu, Bambang dan Nirwan menganggap unggul Cerpen “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Rumah Hujan” punya Dewi Ria Utari dan “Nistagmus milik Danarto.

Pada ketiganya kami temukan bahwa “pendek” dalam cerita pendek benar-benar bermakna, yaitu ketika sudut penceritaan bergabung tepat dengan tema dan alur. Atau ketika waktu penceritaan tergarap benar untuk mendukung penokohan,” kata Nirwan. (hal.xvii)

Dan mereka pun memilih “Ripin” sebagai cerita terbaik, dikarenakan Cerpen ini dianggap tampak lebih wajar ketimbang “Rumah Hujan” dan “Nistagmus”.

Kependekannya tampak cemerlang: dengan hanya melukiskan satu hari kehidupan si tokoh utama, ia telah mengatakan segala-galanya. Sementara “Rumah Hujan” menyuling waktu cerita yang begitu panjang dengan tak terlalu mulus, dan “Nistagmus” mengulur panjang-panjang kilas ke masa lampau untuk mendamparkan klimaks pada hari ini.” (hal.xxv)

Cerpen “Ripin” yang dimuat di Kompas edisi 24 April 2005 ini, bercerita soal keinginan Ripin untuk bisa menonton pasar malam yang digelar di kampungnya. Dia berhasrat benar untuk bisa menonton bersama emaknya –yang menggilai Rhoma Irama. Dan kebetulan di pasar malam itu akan tampil seorang pria yang mirip Bang Roma yang mengaku bernama Ruslan Irama. Keinginannya itu meskipun diiyakan sang emak, mendapat sandungan dari bapaknya yang beringas. Hingga akhirnya hanya Ripin yang bisa pergi ke sana tanpa emaknya yang bertengkar dengan bapak, dan kemudian diketahuinya mati karena kepalanya dihantamkan ke dinding.

Beragam tema yang diangkat dalam buku Kumcer ini. Sebagai karya yang dimuat di edisi 2005-2006, sebagian ada yang sama mengangkat kisah pilu soal tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tentu saja dengan gaya dan plot cerita yang berbeda. Seperti “Nistagmus”, “Laut Lepas Kita Pergi” (Kurnia Effendi), dan “Ibu Pergi ke Laut” (Puthut EA). Selebihnya mengangkat temanya masing-masing, baik bergaya realisme maupun surealis.

Sebagai Cerpen pilihan dua panelis tamu Kompas itu, pembaca buku ini tentu bisa membaca bagaimana sebenarnya “selera” si pemilih. Dan wajar juga bila pembaca memilih sendiri cerita yang dianggapnya terbaik dari 16 Cerpen yang ditampilkan itu. Saya sendiri, setelah membaca seluruhnya, justru memilih karya Puthut EA “Ibu Pergi ke Laut”.

Di samping ceritanya yang sederhana dan menggugah hati, alasan nyelenehnya adalah, karena judul yang dipakai Puthut EA benar-benar bisa ditarik ulur ke sana-kemari. Baca lamat-lamat; ibu pergi ke laut mengingatkan kata-kata dalam buku bahasa anak SD. Dalam konteks kekinian, pergi ke laut dijadikan bahasa prokem ke laut ajee

Di awal-awal membaca judul, pembaca langsung mencoba menebak, ngapain ibu ke laut? Bukankah biasanya bapak yang ke laut? Tapi setelah membaca tuntas, dugaan itu mentah di tangan Puthut. Ibu pergi ke laut, menjadi kata penghibur bagi si anak yang ditinggal ibunya yang menjadi korban tsunami Aceh. Bahasa yang dipakai begitu mudah dimengerti dan menggunakan sudut pandang seorang anak dalam menjalani hari-harinya tanpa si ibu.

Tapi bagaimana pun, keseluruhan Cerpen di buku ini memang bagus-bagus. Dan para penulisnya memang sebagian besar adalah orang-orang yang telah punya nama di negeri ini. Tapi soal selera, tetap bisa beda bukan? (max)

Pembantu & Pelacur

PelacurJudul: Pembantu & Pelacur
Pengarang: Roidah
Penerbit: Labuh, Yogyakarta
Cetakan: I, Mei 2005
Ukuran: 11,5 x 17,5 cm, 158 halaman
Dibeli: Sari Anggrek Padang, 15 Mei 2007

 

 Mengangkat Realitas yang Mudah “Terbaca”

Menikah adalah satu-satunya cita-cita yang kupunya. Tapi bagiku juga hanyalah dongeng bila ada lelaki baik-baik atau lelaki nakal sekalipun mau menikahi pelacur!” (hal.77)

UNTUK ukuran Cerpen, kata-kata serupa itu sebenarnya sudah basi. Tapi untuk realitas, ucapan Serenita, pelacur yang menjadi tokoh sentral Cerpen “Pembantu dan Pelacur” ini, adalah kondisi riil yang memang tak mungkin terjadi. Paling hanya di Cerpen-cerpen tertentu karya Cerpenis lain yang mengangkat kisah yang sama, biasanya selalu ada ending pelacur menikah dengan pria idamannya, atau sebaliknya, si pria yang ngebet menikahi wania itu.

Tapi di tangan Roidah, Cerpen “Pembantu dan Pelacur” yang menjadi judul buku kumpulan Cerpennya ini, ending yang dipilih jelas berbeda. Roidah justru memilih mengakhiri hidup Serenita melalui bunuh diri setelah bathinnya berperang atas profesi yang dilakoninya. Serenita dengan sadar-sesadarnya, menyadari martabatnya jauh lebih rendah sebagai pelacur dibanding Parni yang menjadi pembantunya.

Realitas, mungkin itulah titik berpijak yang dipilih Roidah dalam berkarya. Dari 10 Cerpen yang dimuat dalam buku terbitan Labuh, Mei 2005 ini, seluruhnya mengangkat tema keseharian. Cuma saja pilihannya itu, membuat wanita kelahiran Padang tahun 1975 ini nyaris terjebak, sehingga membikin Cerpen-cerpennya menjadi biasa karena mengangkat hal biasa pula.

Pilihan tema seperti menjadi perempuan kedua dalam kehidupan seorang duda pada Cerpen “Sentyapani”, atau romantika percintaan masa lalu antara pasangan yang telah berkeluarga dalam Cerpen “Masa Lalu” dan “Mendua”, atau hari-hari terakhir menjelang kepergian seorang ibu dalam Cerpen “Isyarat”, dengan mudah terbaca ending-nya oleh pembaca.

Kebiasaan Roidah untuk mengakhiri setiap ceritanya dengan kalimat-kalimat berbau kesimpulan, terus terang semakin menasbihkan Cerpennya itu menjadi Cerpen biasa. Kendati begitu, pembaca tetap akan hanyut dengan jalan cerita yang dibawakan penulis novel “Love Me Save Me“, “Menyalakan Matahari” dan Kumcer “Selamanya Cinta” itu. Karena Roidah menuliskannya begitu mengalir seperti air yang kadang diwarnai sedikit arus balik (flash back), atau terjun sama sekali (waterfall). Dengan gaya seperti itu, buku setebal 158 halaman ini akan rampung hanya dalam hitungan jam. (***)

Kembali ke Pangkal Jalan

KwJudul: Kembali ke Pangkal Jalan
Pengarang: Yusrizal KW
Penerbit: Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2004
Ukuran: 14 x 21 cm, viii + 170 halaman
Dibeli di: Gramedia Padang, 14 Juni 2007

 

 Merantau Versi Yusrizal KW

BUDAYA merantau, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urang Minang yang berada di kampung halaman. Laki-laki yang cukup umur atau beranjak dewasa, menjadi wajib hukumnya untuk menjejakkan kaki di tanah rantau guna mencari penghidupan lebih baik di negeri orang. Namun seiring perkembangan zaman, budaya merantau itu secara perlahan mulai terkikis dan menghilang dari kehidupan anak nagari, tapi bukan berarti habis sama sekali.

Lika-liku merantau, pernak-pernik hidup di rantau, pahit getir dan suka duka di rantau, selalu menjadi kisah menarik yang kerap diangkatkan menjadi tema Cerpen atau novel oleh cerpenis dan penulis asal Ranah Minang, seperti AA Navis, Gus tf Sakai, dan banyak lagi, termasuk Yusrizal KW sendiri. Dan kisah ini tak pernah habis untuk digali dari berbagai sisi, angle dan gaya penulisan.

Seperti cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” yang menjadi judul buku kumpulan Cerpen milik Yusrizal KW ini, jelas sekali mengangkat tema merantau dari sisi berbeda, yaitu sisi filosofis adat yang mestinya dipegang teguh, tapi tak jarang diabaikan oleh perantau. Yaitu filosofi untuk kembali ke pangkal jalan kalau sudah tersesat dari tujuan yang akan dicapai.

Di cerita ini, Yusrizal KW dengan cantik mempermainkan petatah-petitih Minang yang telah di-translate ke bahasa Indonesia melalui dialog-dialog tokoh Ombing dengan ibunya, dan penggalan nasehat mendiang kakeknya. Semisal “rantau sakti laut bertuah“, atau “telentang sama minum hujan, telungkup sama makan tanah“, dan “risau hati berperindu doa, risau dan salah Tuhan tempat mengadu dan bertanya“. Yusrizal yang oleh sebagian rekannya dipanggil KW, dengan cantik pula merangkai kata-kata itu sehingga terkesan puitis dan mendalam.

Ombing mencatat sejarah ayahnya dalam derai air mata ibunya. Ketika berniat merantau, ayahnya dimakan rantau. Rantau sakti laut bertuah diremehkan ayah. Waktu miskin di kampung, telentang sama minum hujan, telungkup sama makan tanah. Tapi, waktu bersinar di rantau, ujung jalan mencahayai nasib, ayah lupa pangkal jalan, lupa dendang kampung yang menyanyikan ratap anak dan istri. Ayah punya dendang baru, tentang cinta berbunga harta di rantau, perempuan cantik berpunya pula, kehendak boleh pinta berlaku.” (hal.72-73)

Cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” ini memang menggambarkan betul, betapa banyak godaan yang akan dilalui seorang perantau. Yang terlena, akan lenyap begitu saja (lupa diri) dengan orang kampung yang selalu menunggu kabar berita keberhasilannya di rantau. Atau yang tidak sukses, akan merasa malu untuk berbalik dan memilih hidup berpahit-pahit di negeri orang. Padahal hakekat merantau —menurut saya— bukan semata sukses atau tidak sukses, tapi lebih kepada bentuk memaknai hidup agar berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan orang banyak; tidak tersesat pada godaan duniawi yang menyesatkan diri, mencoreng muka sanak famili; dan sebagainya.

“Kembali ke Pangkal Jalan” ini merupakan salah satu Cerpen karya KW dari 14 Cerpen yang dimuat di buku Kumcer yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada Juni 2004 lalu. Cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” yang ditulisnya Mei 2003 juga merupakan salah satu Cerpen yang belum pernah dipublikasikan ke media massa selain cerita “Malam di Taman”. Selebihnya merupakan Cerpen-cerpen KW yang pernah terbit di Kompas, Media Indonesia, Tabloid Nova, Koran Tempo, dan Majalah Sastra dalam rentang waktu 1991-2003.

Hampir semua Cerpen yang ada di buku ini, sangat mudah disimak, tidak bertele-tele dan mengalir lancar bak air di pembuluh, namun kadang ending-nya tidak bisa begitu saja diduga. KW sangat menghindari bermetaforis dalam berkarya yang akan sulit dimengerti orang-orang yang baru memulai untuk menikmati karya-karya sastra. Dia lebih cenderung mengusung gaya realis, yang terus terang mengingatkan saya kepada pengarang besar Ranah Minang, AA Navis. Tapi tetap ada satu Cerpennya, “Cahaya dan Nyala Api” yang mengusung gaya surealis, tapi tidak begitu berat untuk dimengerti. Itulah KW.

Tema yang diusungnya pun merupakan realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Semisal Cerpen “Orang Dalam”, “Sang Pengeluh”, “Tiga Butir Kurma per Kepala”, “Saku Suami”, “Demi Bu Camat”, “Malam di Taman”. Pun begitu, KW tetap menyelipkan kritikan sosial atas fenomena yang terjadi dengan cara penyampaian yang tidak meledak-ledak. Salah satunya bisa terbaca di Cerpen “Senyum Ayah yang Sedang Sakit” yang menyentil keengganan orang untuk menjadi guru lantaran kesejahteraannya yang tidak terjamin.

Secara keseluruhan, karya-karya yang ditampilkan pria kelahiran Padang, 2 November 1969 ini memang enak dibaca. Sebagai perbandingan untuk perkembangan gaya menulisnya, mungkin pembaca bisa melihat pula Kumcernya yang pertama berjudul “Hasrat Membunuh” yang diterbitkan Penerbit Dian Aksara Pers pada 2003 lalu. Apakah KW tetap komit dengan ke-KW-annya yang ringan dan mudah dimengerti, atau mencoba celah baru dengan merambah keberagaman gaya sastra yang lain, buku Kumcer pertamanya itu atau buku ketiganya yang –kabarnya– akan segera terbit, bisa menjadi pembanding. Sayangnya, untuk saat ini, Kumcer “Hasrat Membunuh” sangat susah dicari. (***)

Perantau

PerantauJudul: Perantau
Pengarang: Gus tf Sakai
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, Maret 2007
Ukuran: 13,5 x 20 cm, xiii + 130 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 26 Mei 2007

 

 Menguji Psikologis Para Pembaca

“Kau mungkin punya diri yang lain di tempat lain. Diri yang mungkin tengah mengembara menikmati dunia. Atau mungkin diri yang bisa tidur, dan kini tengah terlelap menikmati tidurnya entah di mana”. (hal. 11)

Begitulah sepenggal kalimat di Cerpen “Lelaki Bermantel” yang dimuat di kumpulan Cerpen “Perantau” karya Gus tf Sakai ini. Membacanya, tersirat jelas bahwa Cerpen ini sedang mengangkat tema jiwa yang terbelah, yang pernah menjadi trend cerita fiksi pada era 80-an dulu, yang muncul lagi beberapa waktu belakangan dengan munculnya karya-karya terjemahan novel psikologis berkaitan dengan kepribadian ganda itu.

Cerita jiwa terbelah tentang alter ego di diri seorang individu yang kadang disebut bipolar atau fuga ini, sempat menjadi pembicaraan hangat seiring dengan munculnya kisah nyata tentang gadis yang memiliki 16 kepribadian yang ditulis oleh Flora Rheta Schreiber dalam buku “Sybil” (1973). Semua mata terbuka, bahwa memang ada (atau apakah benar ada?) “diri lain” dalam diri kita masing-masing yang wujudnya kita sendiri tidak pernah tahu.

Sukses kisah Sybil, dilanjutkan dengan karya Daniel Keyes berjudul “The Minds of Billy Milligan pada 1981, yang di Indonesia diterbitkan Qanita dengan judul “24 wajah Billy” pada Juli 2005 silam.

Apakah Gus tf Sakai mengekor cerita bertema seperti ini? Belum jelas dan bisa jadi. Mengingat Cerpen “Lelaki Bermantel” itu sendiri dibuatnya pada 14 November 2003 dan dimuat di Koran Tempo pada 30 November tahun yang sama. Namun berbeda dengan Sybil dan Billy, tokoh sentral dalam Cerpen ini hanya punya satu alter ego yang membunuh para gelandangan di kotanya. Sisi lain jiwanya itu, kerap “bertemu” dengannya di malam-malam panjang di saat dia menikmati kehidupan malam kotanya lantaran derita insomnia yang menjangkitinya.

Selain Cerpen “Lelaki Bermantel”, tema jiwa yang terbelah ini ditemukan pula dalam Cerpen “Stefani dan Stefanny” yang penuh pergulatan kata. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Horison edisi Maret 2006 itu, jauh lebih berat dibanding “Lelaki Bermantel”.

Di tangan pengarang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat 13 Agustus 1965 itu, cerita psikologi seperti ini dihantarkan dengan jalan cerita yang memaksa pembacanya untuk berpikir dan berpikir. Tak sekedar berpikir, pembaca pun diajak terlibat di dalamnya, melalui pertanyaan yang dilontarkan untuk ketidakjelasan objek yang digambarkan atau pilihan kalimat yang digunakan.

Simak saja cara penulisan di Cerpen “Lelaki Bermantel” ini. “Diperhatikannya lelaki itu lebih cermat. Samar, di bawah cungkup kepala mantel hujan biru (ataukah hijau?),…” (hal.3). Pertanyaan semacam (ataukah hijau?) ini, hampir sebagian besar ditemukan dalam 12 Cerpen yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu.

Seperti dalam Cerpen “Tok Sakat”, Gus tf beberapa kali menggunakan kalimat tanya penuh kebimbangan atas pilihan kata yang dipilihnya. Misalnya, “Ya, tetapi juga ada alam (ataukah lokasi, ataukah ruangan) lain di sekelilingnya yang bagai berdempet (ataukah berlapis)...” (hal.86)

“Apakah Gus tf peragu (ataukah sengaja membikin kita ragu?),” mungkin kalimat itu yang akan ada di pikiran kita membaca Cerpen-cerpen penuh tanyanya ini. Jawabnya, hanya dia yang tahu, dan kita mungkin akan tahu setelah cerita yang diceritakan memasuki ending yang kadang ke luar (ataukah di luar?) dari pakem yang biasa digunakan cerpenis lainnnya.

Bisa jadi, kalimat tanya dalam kurung itu, bagian dari upaya pemenang Hadiah Sastra Lontar 2001 dan penghargaan sastra Pusat Bahasa 2002 serta SEA Write 2004 atas kumpulan Cerpen “Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta” (1999) tersebut, untuk mengulik-ulik psikologis para pembaca dalam menyimak fiksi psikologinya ini. Jika itu iya, maka wajar bila seluruh Cerpen di buku Kumcer “Perantau” ini, hampir seluruhnya berbau psikologi yang dituliskan dalam bahasa metaforis yang kadang sangat berat untuk pembaca yang terbiasa dengan Cerpen-cerpen biasa. (***)

Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)

DjenarJudul: Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)
Pengarang: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: IV, Oktober 2004
Ukuran: 14 x 21 cm, xxvii + 122 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 20 Maret 2007

Ketika Djenar “Memainkan” Kelamin

MENGEKSPLOITASI kelamin sungguh mengasyikkan. Bukan asyik secara lahiriah saja, tapi juga asyik dalam pergulatan kata dan makna. Maka jangan heran bila begitu banyak pengarang yang coba masuk ke ranah perkelaminan ini. Yang tak bisa mengerem diri, asal nyablak, akan terjebak ke karya stensil murahan. Hanya yang mampu merangkai kata, memainkan aksara, memanipulir bahasa, yang akan melahirkan karya susastera. Dan itu tidak banyak.

Dari yang tidak banyak itu, Djenar Maesa Ayu salah satunya. Kelamin oleh Djenar, bisa dijadikan tema sentral Cerpennya untuk menggugat relasi yang salah antaranak manusia –relasi sejenis, berlawanan jenis, dan interaksi sosial lainnya–, yang Djenar sendiri tidak berada dalam posisi menghakimi.

Kelamin dijadikan objek cerita, bukan melulu harus digambarkan dengan hubungan persebadanan. Bukankah kelamin menjadi salah satu muara hubungan manusia? Maka jadilah cerita perselingkuhan, incest, perilaku seksual menyimpang lainnya, menjadi lahan garapan subur bagi Djenar untuk diutak-atik dengan bahasanya sendiri, yang akhirnya menjadi sisi kontroversi dari seorang Djenar. Itulah yang bisa terbaca dari buku “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” ini.

Buku kedua Djenar setelah “Mereka Bilang, Saya Monyet!” yang terbit pertama kali pada Januari 2004 ini, benar-benar mengeksplorasi dan mengeksploitasi “kelamin” (seks-red). Dari 11 Cerpen yang disuguhkan, hampir seluruhnya berkaitan dengan sensualitas dan seksualitas dari interaksi antarmanusia. Soal perselingkuhan, diteropong melalui Cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” (hal.1), “Mandi Sabun Mandi” (hal.15), dan disenggol-senggol pula di Cerpennya yang lain seperti “Penthouse 2601” (hal.95).

Tidak hanya itu, penyimpangan, pelecehan dan kekerasan seksual juga dibidik wanita kelahiran Jakarta, 14 Januari 1973 ini. Semisal Cerpen “Menyusu Ayah” (hal.35), yang kalau membacanya, bikin kita bergidik. Bayangkan, gadis kecil Nayla yang menjadi tokoh sentral dalam Cerpen ini, harus “menyusu” kepada ayahnya, karena tidak lagi mempunyai ibu. Dan ketika ayahnya tak lagi sudi “menyusui”, dia beralih “menyusu” kepada teman-teman ayahnya.

Cerpen “Menyusu Ayah” yang menyesakkan dada ini, terpilih menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan. Dari seluruh Cerpen yang ada di buku “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” ini, menurut saya memang “Menyusu Ayah” yang paling kuat.

Namun begitu masih ada juga Cerpen Djenar yang lain yang cukup kuat dan berbeda dalam pola penulisannya. Di antaranya Cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”  sendiri, “Saya adalah Seorang Alkoholik!” (hal. 53) dan “Stacatto” (hal.63). Penulisan ketiga Cerpen itu, sangat eksprimental. Dalam bahasa Richard Oh yang menulis pengantar dalam buku Kumcer terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini, tiga Cerpen itu; khas inovasi Djenar dengan mengandalkan pengulangan, mengitari satu titik sentral cerita dan mengikis terus hingga ke esensi persoalan.

Kata Richard, “Djenar Maesa Ayu memperkenalkan suatu gaya penulisan yang menurut saya merupakan pembaharuan yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia saat ini.”

Richard tak salah, karena Djenar memang beda. Tak hanya beda, tapi juga kontroversial. Dan kekontroversialannya itu, menjadi pengakuan terhadap eksistensinya sebagai penulis yang berani dan tampil beda. Maka jangan heran bila buku “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” ini  meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya 2 hari setelah diluncurkan pada awal 2004 lalu. Selain itu, Kumcer ini juga berhasil meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004.

Hebat! Ternyata kelamin berbuah “manis”. Dan ini jelas tidak main-main!!!(***)

Kota Tanpa Kelamin

KotatanpakelaminJudul: Kota Tanpa Kelamin
Pengarang: Lan Fang
Penerbit: Mediakita, Jakarta
Cetakan: I, 2007
Ukuran: 13 x 19 cm, x + 148 halaman
Dibeli: Sari Anggrek Padang, 15 Mei 2007

Fantasi Seksual Ala Lan Fang

MEMBACA kumpulan Cerpen karya Lan Fang ini, benar-benar renyah dan sedikit mengejutkan. Renyah, karena penuturan dan tema yang diceritakan dari 12 Cerpen yang dimuat di buku itu, di antaranya sangat mudah diikuti tanpa harus berpikir ulang guna mengetahui maksudnya. Mengejutkan, karena Lan Fang begitu berani mengambil angle lain untuk cerita-cerita biasa yang akhirnya jadi luar biasa.

Bahkan perempuan yang katanya penggemar mandi ini, cukup berani menggunakan perbendaharan kata seksual dan mendeskripsikan aktivitas seksual itu sendiri. Dan dia, tidak terjebak seperti karya-karya stensilan yang terkesan murahan. Namun harus diakui, Lan Fang belum seberani Djenar Maesa Ayu untuk tema-tema yang seperti ini. Kendati begitu, membaca Lan Fang jelas beda dengan membaca Djenar, karena ibu dari 3 anak kembar ini termasuk sopan, tapi tetap saja mengajak pembacanya untuk berfantasi mengikuti jalan cerita yang ditulisnya.

Coba saja simak jalan cerita “Pantat” (hal. 89), yang diawal-awal cerita sudah membikin pembacanya seakan membayangkan sebuah adegan seksual sebuah perselingkuhan. Tapi akhirnya pembaca justru kecele, begitu cerita terus mengalir dan terungkap bahwa itu hanyalah aktivitas pemijatan antara tukang pijat perempuan dengan seorang wanita yang lagi sendirian di rumah karena ditinggal suaminya ke luar kota.

Pantat, dijadikan media bagi Lan Fang untuk melakukan kritik sosial dengan menggambarkan betapa kesenjangan sosial bisa dilihat melalui bentuk pantat.

Ingat tentang pantat, hatiku menjadi nyeri mendadak. Ternyata kemiskinan pun dapat terbaca dari pantat. Bagaimana mungkin aku bisa merawat pantatku, seperti perempuan cantik yang kaya ini, sedangkan untuk merawat wajah dan tanganku saja, tidak memungkinkan, karena harus berlomba dengan perut anak-anakku. Berapa lembar ribuan yang kukumpulkan dari mencari barang bekas di tumpukan sampah, lebih berarti untuk membeli beras dan tempe supaya anak-anakku tidak meringkuk lapar dan dingin, daripada untuk membeli bedak wajah, apalagi untuk merawat pantat“. (hal. 92-93)

Selain “Pantat”, Lan Fang juga menyuguhkan fantasi melalui “Ini tidak Gila!” (hal. 43) dan “Anak Anjing Berkepala Kambing” (hal. 31), atau yang lebih berat “Kota Kelamin itu Kosong” (hal. 135). Khusus untuk “Anak Anjing Berkepala Kambing”, Lan Fang kembali melakukan kritik sosial soal hubungan perselingkuhan yang berbuah pada upaya aborsi. Menariknya, Lan Fang justru menjadikan si cikal bayi dan ari-arinya sebagai tokoh sentral dalam ceritanya ini.

Tidak hanya fantasi seksual, Lan Fang juga menyuguhkan kisah percintaan yang tentu saja berbeda dengan roman percintaan yang banyak beredar di pasaran. Kadang terlalu simpel, terkadang pula kelewat berat, yang jalan ceritanya tetap mudah dimengerti. Yang paling menarik adalah “Ampas” (hal. 23). Di sini, tokoh Aku yang mencintai lelaki pujaannya hingga ke ampasnya, justru pada akhirnya dicampakkan seperti ampas. Tragis.

Dibanding karya-karya terdahulu Lan Fang, seperti “Reinkarnasi” (2003), “Pai Yin” (2004), “Kembang Gunung Purei” (2005), “Laki-laki yang Salah” (2006), “Perempuan Kembang Jepun” (Gramedia,2006), dan “Yang Liu” (2006), cover kumpulan Cerpen terbitan Mediakita ini, jauh lebih menarik dari yang sebelumnya itu. Desain sampul yang dibikin Verdi, mengesankan betapa isi kumpulan Cerpen ini sama simpelnya dengan gambar yang dibikinnya. Tidak berat, seperti yang sudah-sudah. Terlebih lagi dengan pemakaian judul “Kota Tanpa Kelamin”, yang tentu saja mengantar kita untuk berfantasi, seperti apa sebenarnya kota tak berkelamin itu. Jawabnya, hanya didapat setelah membaca 12 karya yang ada di buku ini. (***)

 

Antologi Lengkap Cerpen AA Navis

Aanavis

Judul: Antologi Lengkap Cerpen AA Navis
Pengarang: AA Navis
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, 2004
Ukuran: 14 x 21 cm, x + 776 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 20 Maret 2007

 

Kisah Tempo Doeloe, Aroma Kekinian

BERUNTUNGLAH bagi yang memiliki buku Antologi Lengkap Cerpen AA Navis ini. Membacanya, sama dengan menguliti perjalanan kesusasteraan pria bernama lengkap Ali Akbar Navis dan akrab dipanggil Dali (Uda Ali) itu. Tidak hanya perjalanan kesusasteraannya, tapi juga membaca separoh perjalanan hidupnya yang dituangkan dalam berbagai Cerpen yang ditulis sepanjang hidupnya.

Tercatat, sampai akhir hayatnya, penulis kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 tersebut menghasilkan 69 Cerpen di luar novel, puisi, cerita anak-anak, esai mengenai sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Dari 69 Cerpen itu, 68 di antaranya ada di buku setebal 776 halaman ini. Satu Cerpen yang tidak termuat, “Baju di Sandaran Kursi” bukanlah disengaja untuk tidak diturunkan dalam antologi ini. Bukan karena Cerpen itu dilarang, atau bukan karena Cerpen itu kaya muatan politis dan penuh hujatan, tapi lebih dikarenakan memang tidak ditemukannya keberadaan karya tersebut, yang kata Navis, pernah diterbitkan di majalah Roman pada 1957.

Keberuntungan yang didapat pembaca buku ini adalah, tidak semua Cerpen yang ada di buku ini pernah diterbitkan dalam koran, majalah ataupun buku kumpulan Cerpen. Tercatat ada 6 Cerpen yang belum pernah dipublikasikan, seperti “Dia Sama Dia, “Fragmen”, “Ganti Lapik”, “Lagu Kenangannya”, “Percakapan Lebaran”, dan “Persoalan Nurul”. Dan hebatnya lagi, di buku ini ada pula karya yang pernah menjadi kontroversial dan sempat hilang berbilang tahun di jagad kesusasteraan, yaitu “Man Rabbuka”. Karya besar mengikuti jejak kesuksesaan karya masterpiece Navis; “Robohnya Surau Kami” itu, di eranya dianggap menyinggung umat Islam.

Maka sekali lagi, beruntunglah pembaca buku ini. Berkat kegigihan Ismet Fanany (ketua Program Bahasa Indonesia di Deakin University, Australia) yang mengumpulkan seluruh Cerpen Navis itu –dengan menguber-uber arsip Navis, membolak-balik buku kumpulan Cerpen, mengobok-obok perpustakaan dalam dan luar negeri–, kita bisa membaca kenapa “Man Rabbuka” tersebut menjadi begitu kontrovesial.

Di Cerpennya itu, ada keberanian Navis dalam menyampaikan pesan moral dengan mengangkat tema latar keagamaan. Bahkan tataran ideal yang diatur agama, bisa “diutak-atiknya”  yang kadang dianggap tabu bagi sebagian umat. “Man Rabbuka” yang secara harafiah merupakan pertanyaan malaikat tentang “Siapa Tuhanmu” kepada penghuni kubur, di tangan Navis berubah menjadi cerita lucu tapi satir dan penuh kritik yang menyimpan pesan moral begitu mendalam.

Dikisahkan, dialog malaikat dengan jasad 2 saudara kembar, Jamain dan Jamalin. Jamain yang pendosa dan dikubur bersama peti-peti berisi barang-barang haram yang menjadi mainannya selama di dunia, justru berkolusi dengan malaikat. Yang bahkan malaikat sendiri diajaknya “menikmati” surga dunia tersebut. Itu terjadi saat dia ditanya “man rabbuka?“, yang dikira Jamain sebagai pertanyaan tentang “apa bekalmu”, bukannya “siapa Tuhanmu”.

Oleh Jamain, malaikat disodorkannya, candu, tuak, gambar-gambar porno wanita cantik yang ada di dalam peti yang dikuburkan bersamanya. “Ini. Ini enak. Tuan Malaikat. Isaplah candu ini. Enak ini. Reguklah tuak ini. Sedap ini. Lihatlah gambar-gambar ini, alangkah cantik-cantiknya wanita ini, Tuan Malaikat. Inilah sorga, Tuan Malaikat.” (hal. 237). Hingga akhirnya malaikat terbujuk ikut mencandu dan menuak, sehingga lupa tugas utamanya untuk menanyai amalan Jamain. Begitu seterusnya, setiap memulai tugasnya menanyakan soal “man rabbuka?” ke Jamain, selalu dijawab Jamain “te es te” (tahu sama tahu-red), yang berulang lagi pada aktivitas menikmati surga dunia tersebut.

Akan halnya Jamalin yang alim dan dikenal sebagai ulama, saat meninggal dan dikuburkan beberapa waktu kemudian, juga ditanyai oleh malaikat yang sama. Pertanyaan tidak lagi dibuka dengan “man rabbuka?“, tapi “te es te” yang tentu saja mengejutkan Jamalin yang tak menduga kalau pertanyaan itu yang akan dihadapinya di alam kubur.

Berkat pertolongan Jamain yang “menyogok” malaikat dengan sebotol tuak, Jamalin terselematkan. Namun malaikat murka karena botol itu didapatinya kosong tak berisi sama sekali. Saking murkanya, Jamain dan Jamalin ditendang. Jamain ditendang dengan kaki kanan, sehingga melayang ke surga dan Jamalin ditendang pakai kaki kiri, sehingga tiba di neraka. “Kesilapan administrasi” membikin Jamalin bertahan di neraka, karena memang namanya tak pernah terdaftar di neraka tapi seharusnya di surga.

Cerita seperti “Man Rabbuka” itu saja, sudah terlihat betapa berani dan tingginya imajinasi Navis. Cerita-cerita serupa ini, yang mengutak-atik kehidupan sebelum mati, menjelang mati dan setelah mati, masih bisa ditemukan di Cerpen Navis lainnya. Seperti “Robohnya Surau Kami” (hal.171), yang memprotes melalui tokoh Haji Saleh dan mengingatkan betapa amalan saja tidak cukup mengantarkan seseorang masuk surga. Atau “Sebuah Wawancara” (hal. 290), yang mengisahkan seorang wartawan bercerita kepada nabi-nabi tentang kondisi kekinian. Atau “Dokter dan Maut” (hal.251), yang menghadirkan proses kematian melalui percakapan antara Maut dengan calon mayat.

Banyak tema yang diusung Navis dalam Cerpen-cerpennya, dengan keberagaman setting pula, walau tak dapat dipungkiri lebih banyak berorama tempo doeloe dengan latar era perjuangan kemerdekaan dan PRRI di Sumbar. Itu wajar, mengingat masa berkarya Navis paling produktif ada di dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Keseluruhan karya Navis di Antologi Cerpen ini, ditulisnya atau diterbitkan dalam rentang waktu 50 tahun dia berkarya, yang dimulainya di usia 26 tahun.

Kendati mengangkat tema-tema sosial yang berbicara tentang hidup dan kehidupan, mati dan kematian, serta tentang hidup sesudah mati yang dibuatnya di era sebelum abad 21 ini, karya seniman serba bisa yang meninggal dunia pada 23 Maret 2003 itu tetap saja pas dengan kekinian. Seperti dikatakan Ismet Fanany dalam tulisannya “Cerpen Navis, Suara Manusia” yang turut dimuat dalam buku Antologi ini (hal.749), “Bila membaca keseluruhan Cerpennya, pembaca akan dapat benar-benar merasakan besarnya arti dan tingginya nilai yang terkandung di dalam seluruh karya Cerpennya itu“.

Menariknya, dalam Cerpennya, Navis tidak lupa pula memperkaya khazanah bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa-bahasa Minang yang diindonesiakan, yang kadang terdengar lucu untuk dilafadzkan kembali oleh orang Minang yang membaca bukunya. Seperti meota (asal kata maota) untuk menjelaskan bicara ngalor ngidul, tengkar (tangka) untuk istilah keras kepala, melaler (malala) untuk pergi main, bertura-tura (baturo-turo) untuk istilah caci maki, kerampang (karampang/ekor atau buntut/pantat), berbegar (babega/berputar-putar atau keliling), dan sebagainya.

Pengindonesiaan bahasa Minang itu, entah karena pengaruh orde baru yang mengeluarkan kebijakan mengindonesiakan beberapa bahasa daerah untuk nama kota, desa, atau lainnya, seperti Alang Laweh menjadi Alang Lawas atau Ikua Koto yang malah menjadi Ikur Koto (yang seharusnya Ekor Kota). Atau pengindonesiaan ini karena memang –sebagaimana diakui Navis–, dirinya selalu tersandung dalam menggunakan Bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia saya tidak lancar,” katanya dalam bukunya “Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan”.

Terlepas dari itu, buku Antologi Lengkap Cerpen AA Navis ini patut dikoleksi dan dibaca. Kendati dicetak pertama kali pada 2004, cerita yang terhimpun di dalamnya takkan lekang oleh waktu. Karena kisah tempo doeloe-nya, menebar aroma kekinian… (***)

Di Atas Sajadah Cinta

SajadahJudul: Di Atas Sajadah Cinta
Pengarang: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Penerbit Republika, Jakarta
Cetakan: X, September 2006
Ukuran: 13,5 x 20,5 cm, 265 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 13 November 2006

Ada Hidayah di Cerita Cinta

CINTA itu universal. Hal itu yang mungkin diangkat Habiburrahman El Shirazy dalam buku Di Atas Sajadah Cinta-nya ini.

Semula, saya sempat kecele. Karena begitu melihat buku bercover menarik ini terpampang di rak buku Gramedia Padang, saya sempat mengira isinya akan idem dito dengan buku sejenis lainnya. Terlebih saya juga pernah membaca buku Gadis di Ujung Sajadah karya Izzatul Jannah terbitan FBA Press-2003 yang juga memuat karya Shinta Yudisia. Perkiraan saya, isi buku ini akan sama dengan buku Izzatul Jannah yang benar-benar mengangkat kisah cinta yang terjadi sehari-hari.

Ternyata saya salah, buku Habiburrahman yang pertama kali terbit Mei 2004 dan hingga September 2006 sudah masuk cetakan ke-10 itu, justru beda. Sebuah beda yang memang telah diakui Habiburrahman sendiri, bahwa buku ini, selain memuat karya-karyanya, juga memuat kisah-kisah teladan Islami. Dalam bahasa saya, bukunya itu adalah sebuah ikhtiar “mahimpun nan taserak” untuk para pembaca.

Karena “mahimpun nan taserak“, maka wajar, embel-embel cinta yang diusung, bukanlah kisah percintaan dua sedjoli semata. Lebih dari itu, buku ini juga mengangkat cerita cinta manusia kepada Rabbnya, kepada Rasulnya, pemimpinnya, sahabatnya, keluarganya, bahkan kecintaan pada diri sendiri. Semua itu dapat kita baca dan rasakan dari 38 cerita yang disajikan (di awal terbitnya, buku ini hanya memuat 25 cerita-red).

Di balik cerita yang diusung, ada banyak hidayah yang ditebar. Menelisik hati pembacanya untuk kembali mengobok-obok nuraninya, agar kembali kepada percintaan Illahiah, cinta Lillahi Taala yang meneropong ke persoalan ukhrawi yang telah dikalahkan pada cinta duniawi, cinta yang memuja hedonisme. Subhannallah…

Meski mengangkat cerita Di Atas Sajadah Cinta sebagai judul buku, namun menurut saya sebenarnya ada cerita lain yang lebih kuat dari seluruh cerita yang ada. Yaitu Ketika Derita Mengabadikan Cinta (hal.37) yang mengangkat kisah cinta nyata antara Prof Dr Mamduh Hasan Al Ganzouri dengan Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz, istrinya.

Mamduh, seorang aristokrat keturunan Pasha, jatuh cinta kepada seorang gadis yang memesonanya lahir batin. Gadis yang penuh kesederhanaan, kesahajaan, dan mulia akhlaknya, setia, lembut, cantik dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Kepadanya dia menambatkan hati dan yakin telah menemukan pasangan hidup yang tepat untuk sama-sama menempatkan cinta mereka dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.

Namun sosok si gadis ditolak mentah-mentah oleh ayah Mamduh hanya karena orangtua si gadis seorang tukang cukur. Mamduh dianggap telah memilih pasangan yang salah dari strata sosial yang jauh berbeda dengan keluarganya.

Penolakan sang ayah, tentu saja melukai hati Mamduh. Namun dia tetap menghormati orangtuanya dan tentu saja tetap yakin dengan cintanya kepada sang gadis. Hingga akhirnya mereka memutuskan menikah –walau tanpa restu– dan hidup serba kekurangan sebagai calon dokter di daerah kumuh. Kenikmatan hidup sebagai orang kaya, ditinggalkannya. Dia yakin jalan yang ditempuhnya diridhai Allah. Kendati demi itu, dia selalu dirongrong oleh kedhaliman sang ayah yang tetap tidak menyetujui pernikahannya itu.

“…Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga…
Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT. Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya…” (hal.46)

Tekad yang bulat dan percaya berada dalam lindungan Lillahi Rabbi, secara perlahan merubah hidup mereka. Tahun berbilang, waktu berganti, mereka akhirnya hidup sukses setelah 9 tahun menderita. Mamduh menjadi dokter spesialis syaraf dan istrinya spesialis jantung. Allahu Akbar…

Di cerita Ketika Derita Mengabadikan Cinta ini, termaktub semua cerita cinta, yaitu cinta manusia kepada Rabbnya, kepada Rasulnya, pemimpinnya, sahabatnya, keluarga bahkan kecintaan pada diri sendiri. Membacanya, bertebar hikmah yang dapat ditarik untuk dijalani dalam kehidupan ini.

Pantaslah bila buku ini –sebagaimana wasiat penulis dan penerbitnya– dijadikan sebagai cenderamata pernikahan, atau kado buat sahabat guna berbagi hidayah, hikmah dan manfaat dari membaca buku yang kini diangkatkan ke layar kaca sebagai sinetron religius itu. (***)