Antologi Lengkap Cerpen AA Navis

Aanavis

Judul: Antologi Lengkap Cerpen AA Navis
Pengarang: AA Navis
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, 2004
Ukuran: 14 x 21 cm, x + 776 halaman
Dibeli: Gramedia Padang, 20 Maret 2007

 

Kisah Tempo Doeloe, Aroma Kekinian

BERUNTUNGLAH bagi yang memiliki buku Antologi Lengkap Cerpen AA Navis ini. Membacanya, sama dengan menguliti perjalanan kesusasteraan pria bernama lengkap Ali Akbar Navis dan akrab dipanggil Dali (Uda Ali) itu. Tidak hanya perjalanan kesusasteraannya, tapi juga membaca separoh perjalanan hidupnya yang dituangkan dalam berbagai Cerpen yang ditulis sepanjang hidupnya.

Tercatat, sampai akhir hayatnya, penulis kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 tersebut menghasilkan 69 Cerpen di luar novel, puisi, cerita anak-anak, esai mengenai sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Dari 69 Cerpen itu, 68 di antaranya ada di buku setebal 776 halaman ini. Satu Cerpen yang tidak termuat, “Baju di Sandaran Kursi” bukanlah disengaja untuk tidak diturunkan dalam antologi ini. Bukan karena Cerpen itu dilarang, atau bukan karena Cerpen itu kaya muatan politis dan penuh hujatan, tapi lebih dikarenakan memang tidak ditemukannya keberadaan karya tersebut, yang kata Navis, pernah diterbitkan di majalah Roman pada 1957.

Keberuntungan yang didapat pembaca buku ini adalah, tidak semua Cerpen yang ada di buku ini pernah diterbitkan dalam koran, majalah ataupun buku kumpulan Cerpen. Tercatat ada 6 Cerpen yang belum pernah dipublikasikan, seperti “Dia Sama Dia, “Fragmen”, “Ganti Lapik”, “Lagu Kenangannya”, “Percakapan Lebaran”, dan “Persoalan Nurul”. Dan hebatnya lagi, di buku ini ada pula karya yang pernah menjadi kontroversial dan sempat hilang berbilang tahun di jagad kesusasteraan, yaitu “Man Rabbuka”. Karya besar mengikuti jejak kesuksesaan karya masterpiece Navis; “Robohnya Surau Kami” itu, di eranya dianggap menyinggung umat Islam.

Maka sekali lagi, beruntunglah pembaca buku ini. Berkat kegigihan Ismet Fanany (ketua Program Bahasa Indonesia di Deakin University, Australia) yang mengumpulkan seluruh Cerpen Navis itu –dengan menguber-uber arsip Navis, membolak-balik buku kumpulan Cerpen, mengobok-obok perpustakaan dalam dan luar negeri–, kita bisa membaca kenapa “Man Rabbuka” tersebut menjadi begitu kontrovesial.

Di Cerpennya itu, ada keberanian Navis dalam menyampaikan pesan moral dengan mengangkat tema latar keagamaan. Bahkan tataran ideal yang diatur agama, bisa “diutak-atiknya”  yang kadang dianggap tabu bagi sebagian umat. “Man Rabbuka” yang secara harafiah merupakan pertanyaan malaikat tentang “Siapa Tuhanmu” kepada penghuni kubur, di tangan Navis berubah menjadi cerita lucu tapi satir dan penuh kritik yang menyimpan pesan moral begitu mendalam.

Dikisahkan, dialog malaikat dengan jasad 2 saudara kembar, Jamain dan Jamalin. Jamain yang pendosa dan dikubur bersama peti-peti berisi barang-barang haram yang menjadi mainannya selama di dunia, justru berkolusi dengan malaikat. Yang bahkan malaikat sendiri diajaknya “menikmati” surga dunia tersebut. Itu terjadi saat dia ditanya “man rabbuka?“, yang dikira Jamain sebagai pertanyaan tentang “apa bekalmu”, bukannya “siapa Tuhanmu”.

Oleh Jamain, malaikat disodorkannya, candu, tuak, gambar-gambar porno wanita cantik yang ada di dalam peti yang dikuburkan bersamanya. “Ini. Ini enak. Tuan Malaikat. Isaplah candu ini. Enak ini. Reguklah tuak ini. Sedap ini. Lihatlah gambar-gambar ini, alangkah cantik-cantiknya wanita ini, Tuan Malaikat. Inilah sorga, Tuan Malaikat.” (hal. 237). Hingga akhirnya malaikat terbujuk ikut mencandu dan menuak, sehingga lupa tugas utamanya untuk menanyai amalan Jamain. Begitu seterusnya, setiap memulai tugasnya menanyakan soal “man rabbuka?” ke Jamain, selalu dijawab Jamain “te es te” (tahu sama tahu-red), yang berulang lagi pada aktivitas menikmati surga dunia tersebut.

Akan halnya Jamalin yang alim dan dikenal sebagai ulama, saat meninggal dan dikuburkan beberapa waktu kemudian, juga ditanyai oleh malaikat yang sama. Pertanyaan tidak lagi dibuka dengan “man rabbuka?“, tapi “te es te” yang tentu saja mengejutkan Jamalin yang tak menduga kalau pertanyaan itu yang akan dihadapinya di alam kubur.

Berkat pertolongan Jamain yang “menyogok” malaikat dengan sebotol tuak, Jamalin terselematkan. Namun malaikat murka karena botol itu didapatinya kosong tak berisi sama sekali. Saking murkanya, Jamain dan Jamalin ditendang. Jamain ditendang dengan kaki kanan, sehingga melayang ke surga dan Jamalin ditendang pakai kaki kiri, sehingga tiba di neraka. “Kesilapan administrasi” membikin Jamalin bertahan di neraka, karena memang namanya tak pernah terdaftar di neraka tapi seharusnya di surga.

Cerita seperti “Man Rabbuka” itu saja, sudah terlihat betapa berani dan tingginya imajinasi Navis. Cerita-cerita serupa ini, yang mengutak-atik kehidupan sebelum mati, menjelang mati dan setelah mati, masih bisa ditemukan di Cerpen Navis lainnya. Seperti “Robohnya Surau Kami” (hal.171), yang memprotes melalui tokoh Haji Saleh dan mengingatkan betapa amalan saja tidak cukup mengantarkan seseorang masuk surga. Atau “Sebuah Wawancara” (hal. 290), yang mengisahkan seorang wartawan bercerita kepada nabi-nabi tentang kondisi kekinian. Atau “Dokter dan Maut” (hal.251), yang menghadirkan proses kematian melalui percakapan antara Maut dengan calon mayat.

Banyak tema yang diusung Navis dalam Cerpen-cerpennya, dengan keberagaman setting pula, walau tak dapat dipungkiri lebih banyak berorama tempo doeloe dengan latar era perjuangan kemerdekaan dan PRRI di Sumbar. Itu wajar, mengingat masa berkarya Navis paling produktif ada di dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Keseluruhan karya Navis di Antologi Cerpen ini, ditulisnya atau diterbitkan dalam rentang waktu 50 tahun dia berkarya, yang dimulainya di usia 26 tahun.

Kendati mengangkat tema-tema sosial yang berbicara tentang hidup dan kehidupan, mati dan kematian, serta tentang hidup sesudah mati yang dibuatnya di era sebelum abad 21 ini, karya seniman serba bisa yang meninggal dunia pada 23 Maret 2003 itu tetap saja pas dengan kekinian. Seperti dikatakan Ismet Fanany dalam tulisannya “Cerpen Navis, Suara Manusia” yang turut dimuat dalam buku Antologi ini (hal.749), “Bila membaca keseluruhan Cerpennya, pembaca akan dapat benar-benar merasakan besarnya arti dan tingginya nilai yang terkandung di dalam seluruh karya Cerpennya itu“.

Menariknya, dalam Cerpennya, Navis tidak lupa pula memperkaya khazanah bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa-bahasa Minang yang diindonesiakan, yang kadang terdengar lucu untuk dilafadzkan kembali oleh orang Minang yang membaca bukunya. Seperti meota (asal kata maota) untuk menjelaskan bicara ngalor ngidul, tengkar (tangka) untuk istilah keras kepala, melaler (malala) untuk pergi main, bertura-tura (baturo-turo) untuk istilah caci maki, kerampang (karampang/ekor atau buntut/pantat), berbegar (babega/berputar-putar atau keliling), dan sebagainya.

Pengindonesiaan bahasa Minang itu, entah karena pengaruh orde baru yang mengeluarkan kebijakan mengindonesiakan beberapa bahasa daerah untuk nama kota, desa, atau lainnya, seperti Alang Laweh menjadi Alang Lawas atau Ikua Koto yang malah menjadi Ikur Koto (yang seharusnya Ekor Kota). Atau pengindonesiaan ini karena memang –sebagaimana diakui Navis–, dirinya selalu tersandung dalam menggunakan Bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia saya tidak lancar,” katanya dalam bukunya “Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan”.

Terlepas dari itu, buku Antologi Lengkap Cerpen AA Navis ini patut dikoleksi dan dibaca. Kendati dicetak pertama kali pada 2004, cerita yang terhimpun di dalamnya takkan lekang oleh waktu. Karena kisah tempo doeloe-nya, menebar aroma kekinian… (***)

3 thoughts on “Antologi Lengkap Cerpen AA Navis

Tinggalkan komentar