Kembali ke Pangkal Jalan

KwJudul: Kembali ke Pangkal Jalan
Pengarang: Yusrizal KW
Penerbit: Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juni 2004
Ukuran: 14 x 21 cm, viii + 170 halaman
Dibeli di: Gramedia Padang, 14 Juni 2007

 

 Merantau Versi Yusrizal KW

BUDAYA merantau, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urang Minang yang berada di kampung halaman. Laki-laki yang cukup umur atau beranjak dewasa, menjadi wajib hukumnya untuk menjejakkan kaki di tanah rantau guna mencari penghidupan lebih baik di negeri orang. Namun seiring perkembangan zaman, budaya merantau itu secara perlahan mulai terkikis dan menghilang dari kehidupan anak nagari, tapi bukan berarti habis sama sekali.

Lika-liku merantau, pernak-pernik hidup di rantau, pahit getir dan suka duka di rantau, selalu menjadi kisah menarik yang kerap diangkatkan menjadi tema Cerpen atau novel oleh cerpenis dan penulis asal Ranah Minang, seperti AA Navis, Gus tf Sakai, dan banyak lagi, termasuk Yusrizal KW sendiri. Dan kisah ini tak pernah habis untuk digali dari berbagai sisi, angle dan gaya penulisan.

Seperti cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” yang menjadi judul buku kumpulan Cerpen milik Yusrizal KW ini, jelas sekali mengangkat tema merantau dari sisi berbeda, yaitu sisi filosofis adat yang mestinya dipegang teguh, tapi tak jarang diabaikan oleh perantau. Yaitu filosofi untuk kembali ke pangkal jalan kalau sudah tersesat dari tujuan yang akan dicapai.

Di cerita ini, Yusrizal KW dengan cantik mempermainkan petatah-petitih Minang yang telah di-translate ke bahasa Indonesia melalui dialog-dialog tokoh Ombing dengan ibunya, dan penggalan nasehat mendiang kakeknya. Semisal “rantau sakti laut bertuah“, atau “telentang sama minum hujan, telungkup sama makan tanah“, dan “risau hati berperindu doa, risau dan salah Tuhan tempat mengadu dan bertanya“. Yusrizal yang oleh sebagian rekannya dipanggil KW, dengan cantik pula merangkai kata-kata itu sehingga terkesan puitis dan mendalam.

Ombing mencatat sejarah ayahnya dalam derai air mata ibunya. Ketika berniat merantau, ayahnya dimakan rantau. Rantau sakti laut bertuah diremehkan ayah. Waktu miskin di kampung, telentang sama minum hujan, telungkup sama makan tanah. Tapi, waktu bersinar di rantau, ujung jalan mencahayai nasib, ayah lupa pangkal jalan, lupa dendang kampung yang menyanyikan ratap anak dan istri. Ayah punya dendang baru, tentang cinta berbunga harta di rantau, perempuan cantik berpunya pula, kehendak boleh pinta berlaku.” (hal.72-73)

Cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” ini memang menggambarkan betul, betapa banyak godaan yang akan dilalui seorang perantau. Yang terlena, akan lenyap begitu saja (lupa diri) dengan orang kampung yang selalu menunggu kabar berita keberhasilannya di rantau. Atau yang tidak sukses, akan merasa malu untuk berbalik dan memilih hidup berpahit-pahit di negeri orang. Padahal hakekat merantau —menurut saya— bukan semata sukses atau tidak sukses, tapi lebih kepada bentuk memaknai hidup agar berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan orang banyak; tidak tersesat pada godaan duniawi yang menyesatkan diri, mencoreng muka sanak famili; dan sebagainya.

“Kembali ke Pangkal Jalan” ini merupakan salah satu Cerpen karya KW dari 14 Cerpen yang dimuat di buku Kumcer yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada Juni 2004 lalu. Cerita “Kembali ke Pangkal Jalan” yang ditulisnya Mei 2003 juga merupakan salah satu Cerpen yang belum pernah dipublikasikan ke media massa selain cerita “Malam di Taman”. Selebihnya merupakan Cerpen-cerpen KW yang pernah terbit di Kompas, Media Indonesia, Tabloid Nova, Koran Tempo, dan Majalah Sastra dalam rentang waktu 1991-2003.

Hampir semua Cerpen yang ada di buku ini, sangat mudah disimak, tidak bertele-tele dan mengalir lancar bak air di pembuluh, namun kadang ending-nya tidak bisa begitu saja diduga. KW sangat menghindari bermetaforis dalam berkarya yang akan sulit dimengerti orang-orang yang baru memulai untuk menikmati karya-karya sastra. Dia lebih cenderung mengusung gaya realis, yang terus terang mengingatkan saya kepada pengarang besar Ranah Minang, AA Navis. Tapi tetap ada satu Cerpennya, “Cahaya dan Nyala Api” yang mengusung gaya surealis, tapi tidak begitu berat untuk dimengerti. Itulah KW.

Tema yang diusungnya pun merupakan realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Semisal Cerpen “Orang Dalam”, “Sang Pengeluh”, “Tiga Butir Kurma per Kepala”, “Saku Suami”, “Demi Bu Camat”, “Malam di Taman”. Pun begitu, KW tetap menyelipkan kritikan sosial atas fenomena yang terjadi dengan cara penyampaian yang tidak meledak-ledak. Salah satunya bisa terbaca di Cerpen “Senyum Ayah yang Sedang Sakit” yang menyentil keengganan orang untuk menjadi guru lantaran kesejahteraannya yang tidak terjamin.

Secara keseluruhan, karya-karya yang ditampilkan pria kelahiran Padang, 2 November 1969 ini memang enak dibaca. Sebagai perbandingan untuk perkembangan gaya menulisnya, mungkin pembaca bisa melihat pula Kumcernya yang pertama berjudul “Hasrat Membunuh” yang diterbitkan Penerbit Dian Aksara Pers pada 2003 lalu. Apakah KW tetap komit dengan ke-KW-annya yang ringan dan mudah dimengerti, atau mencoba celah baru dengan merambah keberagaman gaya sastra yang lain, buku Kumcer pertamanya itu atau buku ketiganya yang –kabarnya– akan segera terbit, bisa menjadi pembanding. Sayangnya, untuk saat ini, Kumcer “Hasrat Membunuh” sangat susah dicari. (***)

12 thoughts on “Kembali ke Pangkal Jalan

  1. Hmm…bagus nih yah da… Emanglelaki minang itu harus segera merantau/keluar dari rumah setelah akil balig itu benar? yaaa ksian ibu yang punya satu anak laki laki dong kalau begitu

  2. gak harus seh… tergantung kesepakatan juga antara emak dan anaknya itu, apa tega saling meninggalkan dan ditinggalkan 😛 begitu kali jah? 🙂

  3. Oke, Max. Terima kasih. Apresiasinya menyemangati saya untuk tetap menulis cerpen. Hasrat Membunuh, mudah-mudahan bisa dicetak ulang dengan kualitas cetak yang lebih baik, ya.

    Luar biasa “maxbooks”. Tidak setiap orang (mau) memberi luang untuk dirinya membaca karya sastra. Untuk itu, berbahagialah.

    salam
    ykw

  4. yo olohhh… tiap gw ke sini pasti ada resensi buku terbaru. mantebbb…!!!

    kalo udah dari sononya perantau, gimana? kapan2 harus dibikin juga tuh sastranya 😉

  5. Ping-balik: Laporan Wordpress tentang Blog Maxbooks « Maryulis Max’s Site

  6. Ping-balik: Laporan Wordpress tentang Blog Maxbooks « MaxBookS Review

Tinggalkan komentar