Mahasati

MahasatiJudul: Mahasati

Pengarang: Qaris Tajuddin

Penerbit: PT Krida Nusantara (Akoer), Jakarta

Cetakan: I, Mei 2007

Ukuran: 13,5 x 21 cm, 396 halaman

Dibeli: Gramedia Padang, 20 Agustus 2007

 

Pelarian Cinta Berakhir Tragis

 

CINTA tak pernah mati, kendati jasad telah berkalang bumi. Cinta tak pernah padam, walau kadang harus dipendam. Demikian sepertinya yang ingin disampaikan Qaris Tajuddin dalam novel Mahasati ini.

 

Membaca secara keseluruhan buku setebal 396 halaman terbitan Akoer ini, pembaca dibawa dalam kisah percintaan dengan perspektif yang berbeda dari yang telah ada. Meski harus diakui, Qaris bukanlah orang pertama dalam kesusasteraan yang coba mengambil tema serupa itu. Perbedaannya terletak pada latar cerita yang coba mengangkat kisah perjuangan tokoh utama novel ini dalam upayanya melupakan ketragisan hidup percintaannya yang justru berujung tragis pula terhadap kehidupannya sebagai tahanan perang Afghanistan.

 

Ketragisan itu, diceritakan melalui  penuturan tokoh aku (Andi Djatmika) yang diintrogasi oleh introgator Amerika yang menahannya di Camp Guantanamo, Letnan Commander Lucia Wong. Qaris menggabungkan dua plot cerita silih berganti yang saling berkaitan kemudian.

 

Berkisah tentang cinta Andi kepada Larasati, teman masa kecilnya yang dia panggil Sati, cinta mereka tak pernah berujung pada pernikahan, karena ketika sama-sama dewasa, mereka berpisah untuk menjalani hidup masing-masing. Sati memiliki seorang putri dari hubungannya dengan Rio, namun akhirnya mereka berpisah pula yang diwarnai dengan perebutan hak asuh terhadap Rania, anak mereka.

 

Andi dan Sati kembali bertemu dalam pemakaman sahabat mereka, Yoyok. Pertemuan ini, membangkitkan kembali cerita cinta mereka dulu dan mereka memilih untuk kembali bersatu. Namun nasib Sati berujung pada overdosis Valium yang dikonsumsinya buat menenangkan diri saat anak semata wayangnya diambil Rio. Sati tewas setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit akibat jantungnya yang lemah pasca mengonsumsi Valium.

 

Bagaimana sosok Sati bagi Andi, dia paparkan dengan detail kepada Lucia yang mengintrogasinya. “Dia adalah perempuan yang mampu mengeluarkan keliaran dalam diriku. Perempuan yang mampu membuatku berani menjadi diri sendiri, diri yang kuimpikan sejak aku kecil, diri yang selama ini tertutup oleh ketakutanku akan lingkungan. Perempuan yang memerdekakanku dari cangkang yang membelenggu. Perempuan yang sebenarnya bisa mendapatkan orang yang lebih sempurna dari diriku, namun akhirnya memilihku karena menurutnya, hanya aku yang bisa mencintainya tulus.” (hal.119)

 

Pasca kematian Sati, Andi memutuskan cuti dari pekerjaannya sebagai wartawan lalu bertolak menuju Tunisia untuk “lari” dari kehancuran hati dan bayang-bayang Sati yang selalu menggelayuti pikirannya. Di Tunisia justru terjadi pergolakan politik yang ditanggapi secara represif oleh rezim yang berkuasa. Andi yang sedikit banyaknya terlibat dalam pengajian yang diikuti aktifis pro demokrasi, termasuk menjadi target pencidukan oleh tentara pemerintah. Dia akhirnya meninggalkan Tunisia bersama Ahmed atas bantuan wanita Israel, Miriam Ezra yang jatuh hati padanya.

 

Mereka menyeberang ke Sisilia, Italia dengan maksud meneruskan pelarian mereka ke Prancis. Namun dengan status sebagai pelarian politik, rencana untuk tinggal di negara itu terpaksa dialihkan. Mereka memilih terbang ke Afghanistan yang bisa menerima imigran yang datang untuk membantu perjuangan Taliban atau sekedar menjadi petugas kemanusiaan.

 

Di sinilah Andi membaktikan dirinya. Dari semula hanya seorang pelarian cinta dan pelarian politik, dia menjadi tentara pengaman keluarga nomaden Afghan dari serangan kaum Mujahidin setelah sebelumnya sempat kerja di rumah sakit setempat. Di sini pula akhirnya dia memperistri wanita Afghan, Nafas yang umur pernikahan mereka tidaklah begitu lama, lantaran istrinya itu tewas dalam serangan yang dilakukan musuh.

 

Penceritaan Qaris terhadap kondisi Afghanistan cukup bagus sekali, termasuk kehidupan di Tunisia. Wajar, latar berlakangnya sebagai seorang jurnalis dan pengalamannya meliput di luar negeri tidaklah menyulitkan dirinya untuk mendeskripsikan setiap tempat yang dijadikan sebagai latar cerita. 

 

Sementara pemakaian judul “Mahasati” untuk novel ini, sebagai gambaran cinta agung Andi terhadap Larasati. Sati sendiri adalah kebiasaan perempuan di India yang saat suaminya meninggal, ia membunuh dirinya dengan masuk ke api perabuan suaminya. Dengan demikian, ia berharap bisa tetap bersama suaminya di alam baka.Meski dilarang, perbuatan Sati ini tetap dihormati, bahkan ada patung yang didirikan untuk mengenang perempuan-perempuan yang bunuh diri seperti itu yang dinamai Mahasati, Sati yang agung. (max)

8 thoughts on “Mahasati

  1. wah buku bagus ini belum terbeli juga…dan membaca resensinya bikin segera ingin membaca. Apalagi kalimat romantis di hal 119 itu..hehehe
    Nah kalo itu baru romantis da…

Tinggalkan komentar